BAB 1
TEORI BELAJAR: SEBUAH PERSPEKTIF EPISTEMOLOGIS
PENDAHULUAN
Belajar merupakan suatu kegiatan yang terjadi sepanjang hayat. Belajar bisa terjadi secara sengaja dalam latar pembelajaran formal atau juga secara tidak sengaja melalui pengalaman. Belajar mencakup banyak kompetensi, dari pengetahuan tentang fakta yang sederhana sampai kepada ketrampilan yang kompleks atau prosedur-prosedur yang rumit. Belajar juga kadang-kadang memerlukan banyak usaha dan kadang-kadang berjalan dengan relatif mudah.
Namun belajar sebenarnya merupakan hal yang sangat kompleks. Hasil belajar sering dapat diamati dalam kinerja manusia, tetapi proses belajar itu sendiri kurang nampak secara jelas. Akibatnya, ada banyak teori yang dikembangkan untuk menerangkan tentang belajar dari perspektif yang berbeda-beda. Teori-teori tersebut mempunyai asumsi dan keyakinan yang berbeda-beda. Oleh karena itu penting untuk mengkaji bagaimana teori-teori belajar itu dikembangkan dan apa akar historis yang mendasari teori-teori tersebut. Bab ini mencoba untuk menjawab persoalan ini dengan mengkajinya dari perspektif historis dan epistemologis.
1. PENYELIDIKAN TENTANG HAKIKAT BELAJAR
1.1. Munculnya Teori Belajar
Apa itu teori belajar? Pertanyaan ini telah menjadi topik kajian yang menarik selama bertahun-tahun bahkan berabad-abad lamanya. Banyak orang mempunyai jawaban tersendiri menurut keyakinan atau intuisinya. Teori belajar adalah seperangkat hukum atau prinsip-prinsip tentang belajar. Tetapi apa yang tercakup dalam prinsip-prinsip tersebut, apa tujuannya, dan dari mana asalnya? Kita akan mencoba untuk menelaah ini dalam pembahasan berikut.
Teori tentang fenomena apa saja biasanya muncul berdasarkan persoalan tertentu. Persoalan-persoalan itu menjadi pemicu untuk melakukan penelitian dan kajian. Berkaitan dengan belajar, sejak lama para ahli, khususnya para psikolog telah berusaha untuk menerangkan fenomena belajar. Kajian yang paling awal berkaitan dengan perubahan-perubahan perilaku pada manusia. Pada awalnya, penyelidikan para psikolog yang dipusatkan di laboratorium-laboratorium, berusaha menyelidiki perilaku binatang yang kemudian digeneralisir kepada perilaku manusia.
Mengapa manusia bisa belajar? Apa yang menyebabkan manusia bisa menyimpan informasi, mempersepsi objek di sekitarnya, mengingat fakta-fakta atau bahkan melakukan penalaran? Penyelidikan kemudian diarahkan kepada faktor-faktor apa yang menyebabkan seseorang bisa belajar dengan baik? Kondisi apa saja yang menjadi prasyarat bagi seseorang untuk bisa mengingat sekumpulan fakta atau meniru perilaku tertentu? Apa yang membuat seseorang berhasil dalam belajar? Kajian kemudian diarahkan kepada bagaimana guru dapat mengatur pembelajaran yang efektif sehingga siswa bisa belajar dengan baik. Beberapa pertanyaan tersebut didorong oleh rasa ingin tahu dan suatu keinginan untuk memahami hakekat perilaku manusia dan kaitannya dengan dunia di sekitar kita.
Banyak pertanyaan yang timbul dari fenomena perilaku manusia yang kemudian mendorong para peneliti untuk melakukan pengamatan yang sistematis dan mencari jawaban yang masuk akal. Dalam beberapa jenis penelitian, pengamatan-pengamatan ini dilakukan secara apriori terhadap harapan-harapan atau hasil apa yang akan dilihat. Penyelidikan memerlukan penggunaan perangkat metode dan kemampuan pengamatan yang cermat terhadap peristiwa atau fenomena.
Jenis penelitian apa saja yang digunakan untuk menyelidiki fenomena tertentu menuntut peneliti untuk melakukan dan mengetes jawaban-jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Dalam hal ini para peneliti disodorkan dengan suatu hipotesis kerja (working hypothesis). Hipotesis atau jawaban yang diusulkan seseorang terhadap suatu masalah penelitian menentukan variabel apa yang dianggap penting dalam memahami peristiwa tersebut. Hipotesis juga merinci hubungan yang diduga ada antara variabel-variabel dan peristiwa-peristiwa yang diamati. Untuk menguji kebenaran hipotesis maka harus dilakukan serangkaian pengamatan tertentu. Hasil dari pengamatan itu kemudian dibandingkan dengan ramalan-ramalan yang dihipotesiskan. Dengan menggunakan kriteria tertentu maka dapat dilihat apakah ramalan atau hipotesis itu terbukti atau ditolak. Jika ditolak maka alternatif yang lain perlu dipertimbangkan.
Pengamatan-pengamatan yang dibuat dalam penyelidikan apa saja memungkinkan peneliti untuk membentuk atau menguji proposisi-proposisi tentang apa yang sedang berlangsung. Proposisi tersebut merupakan dasar dari teori-teori. Proses ini bisa terjadi secara berulang-ulang bahkan tidak jarang, teori yang satu seringkali gugur setelah adanya temuan atau bukti-bukti baru yang melahirkan teori-teori yang baru lagi.
1.2. Tujuan Teori Belajar
Sebagaimana yang dikemukakan di atas, proses pembentukan teori bersifat berulang-ulang. Hasil dari setiap tahap penyelidikan mempengaruhi tahap selanjutnya yang pada akhirnya memberikan umpan balik untuk memodifikasi asumsi awal atau hipotesis. Menurut cara ini, suatu teori secara terus-menerus mengalami modifikasi ketika ditemukan hasil-hasil yang baru. Tujuan utama dari suatu teori yakni : untuk menerangkan kejadian dari beberapa fenomena dan untuk meramalkan kejadian dari fenomena tersebut di masa yang akan datang. Hal yang sama juga berlaku untuk upaya pembentukan teori-teori belajar. Teori belajar hendaknya berusaha untuk menerangkan hasil-hasil yang berhubungan dengan belajar dan meramalkan kondisi-kondisi atau prasyarat dimana belajar akan bisa terjadi lagi. Atau dengan kata lain, teori belajar diharapkan dapat menjadi dasar bagi pengembangan teori pembelajaran.
Ada perbedaan yang signifikan antara belajar dan pembelajaran. Tentang hal ini, Reigeluth (1983) memberikan penjelasan yang sangat bagus. Belajar lebih merupakan suatu proses yang deskriptif, sedangkan pembelajaran adalah lebih bersifat preskriptif. Teori belajar berusaha menerangkan fenomena belajar secara apa adanya, sedangkan teori belajar berusaha untuk menerangkan kiat atau upaya-upaya apa yang harus dilakukan agar belajar bisa terjadi.
Keputusan penelitian biasanya berasal dari asumsi disiplin ilmu atau keyakinan yang dimiliki oleh para peneliti tentang fenomena yang mereka pelajari. Seorang ahli antropologi misalnya, yang berkeliling mempelajari kebudayaan primitif pasti memiliki perspektif yang berbeda tentang belajar dibandingkan dengan bagaimana seorang psikolog membuat pendekatan terhadap objek yang sama. Menurut Shulman (1988), yang membedakan satu disiplin dengan disiplin lainnya adalah cara dimana mereka merumuskan masalahnya, bagaimana mereka membatasi isi kajian terhadap domain dan mengorganisir isi secara konseptual dan prinsip-prinsip penemuan dan pembuktian yang membentuk aturan dasar untuk menciptakan dan mengetes pengetahuan dalam bidang mereka. Prinsip-prinsip ini berbeda-beda dalam setiap disiplin ilmu.
Karena belajar merupakan perilaku umum manusia dan bukan merupakan suatu disiplin ilmu yang khas maka penyelidikan tentang belajar bisa didekati oleh para peneliti dari berbagai perspektif sesuai dengan disiplin ilmunya. Kita bisa melihat ini dalam teori-teori yang dihasilkan tentang belajar yang sudah dirumuskan. Misalnya psikolog behavioristis berpendapat bahwa belajar dapat dipahami sepenuhnya berdasarkan peristiwa-peristiwa atau kejadian yang bisa diamati baik berupa perilaku atau yang berhubungan dengan lingkungan. Sebaliknya psikolog kognitivis yakin bahwa belajar dimediasi oleh proses ingatan yang ada di dalam diri siswa. Perspektif ketiga diperkenalkan oleh para ahli psikologi sosial, yang mengatakan bahwa belajar merupakan suatu aksi sosial yang tergantung pada interaksi antara siswa dengan lingkungan sosiokulturalnya. Hal ini berarti, keyakinan-keyakinan ini menentukan pertanyaan tentang apa belajar yang akan diselidiki dan apa gagasan teoretis yang akan ditemukan untuk memberikan penjelasan-penjelasan. Ini juga berarti bahwa dua teori yang nampaknya bersaing mungkin tidak diarahkan pada fenomena yang sama. Aspek belajar apa yang kabur bagi suatu teori bisa dijelaskan oleh teori lain.
Dalam mengembangkan suatu teori tertentu, penelitian cenderung bersifat kumulatif, atau apa yang disebut Kuhn (1970) sebagai ilmu normal. Para peneliti menanyakan pertanyaan yang bersifat logis pada tahap berikutnya didasarkan pada temuan-temuan sebelumnya. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan prinsip-prinsip teoretis yang sudah ditemukan, mengubah prinsip-prinsip itu seperlunya untuk menjelaskan temuan-temuan yang tidak diharapkan atau temuan yang bersifat kontradiktif. Namun demikian kadang-kadang ramalan yang berasal dari suatu teori bisa gagal menerangkan fenomena tersebut meskipun sudah dibuat perubahan-perubahan terhadap teori tersebut. Hasil yang merupakan kelainan-kelainan yang tidak bisa diterangkan ini dengan sangat mudah bisa dikumpulkan. Bila ini terjadi, para peneliti akan mengusulkan alternatif lain, yang sesungguhnya bersifat menentang teori tersebut. Ini dikenal sebagai temuan ilmiah yang luar biasa dan menyajikan suatu terobosan baru dalam kemajuan ilmiah dan perkembangan pengetahuan.
Agar menjadi temuan yang menarik dan bermanfaat dari maka setiap teori baru pada tempat pertama perlu menafsirkan kembali semua temuan dan menjelaskan kekurangan-kekurangan teori sebelumnya yang mendorong adanya penemuan teori baru tersebut. Ini bisa terjadi pada skala yang terbatas dalam suatu orientasi teoretis tertentu, seperti bila psikolog kognitif menawarkan teori baru tentang ingatan jangka panjang (long-term memory) untuk menampung hasil-hasil penelitian yang tidak terdapat pada penelitian yang sudah ada. Dapat juga terjadi pada skala yang luas bila para peneliti mengubah orientasi teoretis secara bersama-sama, mengambil asumsi disiplin ilmu yang tidak sesuai dengan orientasi sebelumnya. Misalnya orang tidak bisa yakin bahwa belajar dapat dipahami secara menyeluruh berdasarkan peristiwa-peristiwa eksternal yang bisa diamati dan yakin juga bahwa belajar tergantung pada proses ingatan yang bersifat internal.
Ini sebenarnya merupakan kesempatan yang bagus bagi pengembangan teori belajar karena perspektif baru yang sedang muncul menantang keyakinan-keyakinan yang sudah lama dianut (long-held beliefs) tentang hakekat belajar dan pembelajaran. Beberapa ilmuwan bahkan sudah berjalan begitu jauh ketika mengklaim bahwa praktek pendidikan berasal dari beberapa pandangan mutakhir tentang belajar yang sesat dan berpotensi untuk merusak (Cunningham, 1992).
Namun demikian penting untuk diingat bahwa jika kita menerima model proses pengembangan teori seperti yang dijelaskan di atas, maka kita juga harus menerima sifat sementara dari teori. Begitu pula kita harus ingat bahwa teori tidak memberikan kepada kita kebenaran yang sesungguhnya dari persoalan itu. Teori hanya memberikan suatu kerangka konseptual untuk menjelaskan data yang sudah dikumpulkan. Oleh karena itu adalah bijaksana untuk memandang setiap teori secara kritis tentang apa yang disumbangkan untuk memecahkan masalah-masalah penting dalam proses pembelajaran. Inilah apa yang disebut Shulman (1988) sebagai sikap dari suatu “disiplin yang eklektis”.
2. BELAJAR DAN TEORI BELAJAR
2.1. Definisi Tentang Belajar
Pada umumnya, belajar diartikan sebagai proses perubahan tingkah laku. Misalnya orang yang tidak dapat mengenal huruf menjadi mampu mengenal huruf, orang yang tidak terampil menulis menjadi terampil menulis, orang yang tidak mampu membuat patung mampu membuat ukiran patung dari kayu, dan berbagai perubahan perilaku lainnya. Di sini orang yang belajar mengalami perubahan dalam aspek perilaku kognitif, psikomotor dan afektif.
Menurut Galloway (1976), belajar adalah suatu perubahan yang relatif menetap dalam kecenderungan berperilaku seseorang yang merupakan akibat dari kegiatan-kegiatan yang mendapatkan penguatan.
Sementara itu Klein (1996) mendefinisikan belajar sebagai suatu proses pengalaman yang menghasilkan suatu perubahan yang relatif permanen yang tidak dapat diterangkan oleh keadaan temporer, kematangan atau kecenderungan tanggapan bawaan. Definisi ini memiliki tiga komponen penting yakni 1) bahwa belajar mencerminkan suatu perubahan dalam potensi tertentu untuk menghasilkan perilaku. 2) perubahan-perubahan yang terjadi akibat hasil belajar itu bersifat permanen. 3) Hasil belajar berbeda dengan hasil dari proses-proses kematangan dan pertumbuhan seperti bertambahnya berat dan tinggi badan, dsb.
Meskipun ada perbedaan diantara teori-teori tentang belajar yang dibahas dalam berbagai literatur, menurut Driscoll (1994), teori-teori tersebut memberikan beberapa dasar dan asumsi definisional tentang belajar. Pertama, teori-teori tersebut mengacu kepada belajar sebagai suatu perubahan yang menetap dalam kinerja manusia atau potensi kinerja manusia. Ini berarti bahwa kemampuan bertindak atau berperilaku yang dibuat oleh seseorang belum ada sebelum ia belajar dan benar atau tidak hal itu harus ditunjukkan melalui penampilan atau kinerja baru yang diharapkan. Namun demikian, satu-satunya cara yang digunakan oleh guru atau peneliti untuk mengetahui apakah belajar telah terjadi adalah dengan meminta siswa untuk mempertunjukkan apa yang sudah mereka pelajari. Indikator-indikator temuan yang baik tentang belajar adalah penting untuk merancang kegiatan pembelajaran.
Kedua, belajar yang merupakan suatu perubahan dalam hal kinerja haruslah terjadi sebagai akibat dari interaksi siswa dengan lingkungannya. Pernyataan ini mempunyai beberapa implikasi. Beberapa perubahan perilaku seperti keterampilan gerak, bisa terjadi karena faktor kematangan, dan oleh karena itu maka tidak dikatakan sebagai hasil dari belajar. Perubahan perilaku lain seperti mencari makan bila lapar atau suka mengomel bila kebanyakan minum minuman keras, hanya merupakan keadaan yang sesaat saja. Ini tidak termasuk belajar. Belajar memerlukan pengalaman, tetapi pengalaman apa yang penting dan bagaimana pengalaman-pengalaman tersebut dianggap menghasilkan belajar merupakan fokus dari setiap teori belajar.
2.2. Definisi Tentang Teori Belajar
Teori belajar berisi serangkaian gagasan yang menghubungkan perubahan-perubahan yang diamati dalam hal penampilan atau kinerja dengan apa yang dianggap menimbulkan perubahan-perubahan tersebut. Gagasan-gagasan itu mengacu kepada konsep-konsep yang ditemukan oleh para ahli untuk mengidentifikasi variabel-variabel psikologis. Misalnya ingatan merupakan suatu gagasan yang berasal dari perspektif kognitif tentang belajar. Kita melihat kenyataan bahwa orang dapat melakukan kinerja atau penampilan yang sama pada saat apa saja karena mereka telah mengingatnya. Maka kita menemukan konsep tentang ingatan untuk menerangkan hasil ini.
Menurut Driscoll (1994), untuk membentuk suatu teori belajar, maka perlu dibuatkan batasan tentang tiga komponen dasar yang menjadi acuan untuk kerangka penyelidikan. Pertama berkaitan dengan hasil, yakni perubahan-perubahan apa saja dalam kinerja tersebut yang dapat diterangkan oleh teori itu? Kedua, berkaitan dengan cara, yakni proses dan prosedur apa yang menyebabkan munculnya hasil-hasil seperti itu? Dan ketiga, berhubungan dengan input, yakni apa yang memicu terjadinya proses tersebut? Sumber-sumber, pengalaman-pengalaman atau prasyarat apa menjadi dasar untuk belajar?
Jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan tersebut, dan bagaimana jawaban itu sendiri ditentukan, mencirikan berbagai perspektif yang diberikan tentang belajar dan teori-teori spesifik yang telah muncul.
3. BELAJAR DALAM PERSPEKTIF SEJARAH
Bagaimana orang bisa belajar bukan merupakan pertanyaan baru di dalam psikologi, bahkan sudah ditetapkan sebagai penelitian yang sah pada akhir 1800-an. Tetapi belajar juga bukan satu-satunya daerah pencaharian para psikolog melainkan sudah merupakan suatu hal yang mendapatkan perhatian yang mendalam bagi para filsuf selama berabad-abad. Apa itu pikiran? Bagaimana pikiran bisa berkembang? Apa itu pengetahuan, dan bagaimana pikiran berusaha untuk memperoleh pengetahuan? Ini hanyalah beberapa pertanyaan yang menjadi dasar intelektual dan filosofis terhadap teori belajar modern. Oleh karena itu adalah bermanfaat untuk menelusuri anteseden utama menuju teori-teori modern agar tersedia suatu kerangka untuk memahami dan mengevaluasinya.
Kajian tentang belajar ini pada dasarnya berasal dari dua sumber utama. Pertama, karena belajar mencakup perolehan pengetahuan, maka perhatian pertama adalah tentang hakekat pengetahuan dan bagaimana kita mengetahui segala sesuatu. Apa itu pengetahuan? Bagaimana pengetahuan dibedakan dari pendapat dan prasangka ? Apa cara yang sah untuk memperoleh pengetahuan? Ini merupakan pertanyaan epitemologis. Bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab memperlihatkan asumsi awal seseorang tentang bagaimana pikiran memperoleh pengetahuan tentang dunia dan asumsi-asumsi tersebut mempengaruhi metodologi penelitian apa yang dipergunakan untuk melakukan penyelidikan tentang belajar.
Sumber kedua yang menjadi akar teori belajar modern memberi perhatian pada hakekat dan gambaran tentang kehidupan mental. Kapan pengetahuan diperoleh, bagaimana pengetahuan digambarkan atau mendapat struktur di dalam pikiran manusia? Aturan apa yang mengatur fenomena mental ini? Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini tidak berarti bagi para psikolog behavioris, namun jawabannya merupakan bagian dari teori kognitif, teori perkembangan dan teori biologi tentang belajar. Fenomena mental sudah dikonseptualisasikan sebagai asosiasi diantara gagasan-gagasan, skema-skema yang kompleks tentang pengetahuan yang terorganisir, dan perubahan-perubahan neurokimiawi dalam pola tanggapan refleksif.
3.1. Epistemologi Belajar
Mungkin teori yang paling awal tentang bagaimana akal budi atau pikiran memperoleh pengetahuan diperkenalkan oleh para filsuf Yunani pada abad ke-4 dan ke-5 SM (Driscoll, 1994). Menurut Empedocles, Demokritus dan Epicuros, pikiran merupakan gambaran tentang objek dengan merekam kesan-kesan perasaan ke dalam penyimpanan ingatan. Selanjutnya pengetahuan menjadi alat untuk mengetahui rekaman-rekaman mental ini. Teori yang paling awal memperlihatkan bahwa akal budi mengetahui secara langsung apa yang dibawa oleh saraf (Herrnstein & Boring, 1965). Karena itu misalnya seekor laba-laba di dinding (objek) memberikan suatu gambaran tentang dirinya, maka kita menerima dan merekamnya di dalam ingatan yang hasilnya muncul dalam bentuk pengetahuan kita adalah seekor laba-laba di dinding. Inilah yang sering disebut sebagai teori rekam (copy theory).
Pandangan ini ternyata punya masalah teristimewa berkaitan dengan kesalahan dalam persepsi. Bisakah dijamin bahwa semua orang memiliki persepsi yang sama tentang laba-laba berdasarkan sebuah objek tertentu di dinding yang ditangkap oleh inderanya? Jaring laba-laba di dinding secara sekilas bisa dilihat seperti sidik jari. Karena input sensorinya jelas maka masalahnya terletak pada keterkaitan atau korespondensi antara rekaman mental dengan objek itu. Dengan kata lain, kita sungguh yakin melihat seekor laba-laba, tetapi kita harus mengakui bahwa apa yang kita lihat dan apa yang sebenarnya dalam contoh ini tidak berkorespondensi. Masalah yang serius lagi adalah menyangkut ketepatan rekaman mental kita.
3.1.1. Objektivisme / Empirisme
Satu jalan keluar bagi masalah ini adalah menolak teori rekaman dan mengakui bahwa objek-objek dapat dirasakan, dialami, dan diketahui secara langsung. Ini berarti bahwa subjek yang mengetahui (the knower) memahami data sensori yang berhubungan dengan sifat atau kekhasan dari objek itu. Perspektif ini dinamakan objektivisme. Dalam contoh laba-laba di atas, kita harus sudah merasakan sifat atau kekhasannya seperti bentuknya, warnanya, ukurannya, dsb. Tersirat dalam perspektif ini adalah bahwa realitas ada secara independen bagi subjek yang mengetahui, karena suatu objek dapat ada entahkah ia dirasakan atau tidak dirasakan oleh seseorang.
Akan tetapi fenomena seperti atom yang tidak bisa dirasakan secara langsung oleh manusia secara objektif dianggap nyata dan bisa dideteksi melalui instrumen yang tepat. Namun demikian tetap ada kesalahan juga bagi pandangan ini. Para filsuf mengatakan ada kemungkinan kesimpulan yang tidak sengaja didasarkan pada sejarah pengalaman. Dengan kata lain, orang bisa saja mengalami banyak sensasi pada masa lampau yang mirip dengan apa yang dialami pada masa kini. Tanpa memperhatikan realitas yang sebenarnya, kedudukan teori ini mengakui pengalaman sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang valid atau yang dikenal dengan nama : empirisisme.
Empirisisme merupakan suatu unsur dasar penelitian karena penelitian merupakan pengumpulan data (pengalaman) secara sistematis yang didasarkan atas persoalan-persoalan tertentu. Melalui penelitian, kita berusaha untuk membentuk pengetahuan yang menyediakan jawaban-jawaban terhadap persoalan-persoalan yang diajukan.
Karakteristik khas dari empirisme tidak hanya mencakup penekanan pada pengalaman sensori, tetapi juga gagasan-gagasan yang kompleks yang dibentuk dari yang lebih sederhana menjadi lebih elementer yang berasosiasi dengan pengalaman. Misalnya kita bertemu dengan seekor kucing. Karena semua pengetahuan diturunkan melalui pengalaman maka kita bisa melihat ukurannya, bentuknya, warnanya, dsb. Dilihat secara terpisah, kesan-kesan sensori ini membentuk makna yang terpisah-pisah pula. Misalnya, kucing adalah yang berwarna hitam; kucing adalah yang berkaki empat; kucing adalah yang kulitnya berbulu. Tetapi secara bersama-sama, mereka membentuk pengetahuan kita secara utuh tentang kucing. Demikian halnya, gagasan yang kompleks dapat dibentuk dengan menghubungkan secara bersama-sama hal-hal yang lebih sederhana atau lebih konkret.
Untuk memahami pengetahuan dari perspektif kaum objektivis maka perlu kita mengetahui bagaimana suatu sejarah pengalaman tertentu berhubungan dengan suatu objek atau gagasan yang muncul mempengaruhi persepsi terakhir. Jika dalam pengalaman terhadap objek atau gagasan-gagasan yang berulang-ulang tentang kucing, mata kita selalu melihat hal yang sama maka sensasi-sensasi tersebut akan menjadi bagian dari pengetahuan kita tentang kucing. Bagi seseorang yang meneliti tentang belajar guna menemukan pengetahuan tentang kucing maka ia tidak hanya mempertimbangkan kekhasan-kekhasan objektif dari kucing itu tetapi juga pengalaman uniknya dengan kucing.
3.1.2. Interpretisme / Rasionalisme / Idealisme
Tinjauan lain tentang pengetahuan dan belajar diperkenalkan oleh suatu perspektif yang dikenal dengan nama interpretisme atau rasionalisme atau juga idealisme (Hermstein & Boring, 1961; Bower & Hilgard 1981). Menurut pandangan ini dikemukakan oleh Plato dan kemudian dikembangkan secara khusus oleh Kant ini, pikiran tidaklah merekam realitas dan memahaminya secara langsung. Namun jalan pikiran atau penalaran dianggap menjadi sumber utama dari pengetahuan. Maka semua jenis data bersifat tidak terstruktur dan juga tidak terdiferensiasi, namun ditafsirkan oleh pikiran menurut kecenderungan persepsi. Realitas dengan kata lain dikonstruksikan.
Pandangan kaum interpretis atau rasionalis tentang pengetahuan menekankan sifat aktif dan dinamis dari kognisi organisme. Pikiran tidak menerima kesan sensori secara pasif. Ia harus aktif menciptakan suatu kerangka organisasional dan interpretatif terhadap pengertian data.
Berkaitan dengan pandangan interpretis, ada gagasan bahwa setidak-tidaknya pengetahuan itu bersifat bawaan, diwariskan dan muncul di benak seseorang pada saat kelahirannya. Namun demikian, apakah pengetahuan itu bersifat bawaan atau apa yang membentuknya, tidak ada konsensus yang jelas.
3.1.3. Pragmatisme
Akhirnya epistemologi belajar yang ketiga adalah pragmatisme. Dalam pengertian tertentu, pragmatisme mengambil jalan tengah antara objektivisme dan interpretisme. Objektivisme menolak teori rekam (copy theory) dan lebih cenderung menerima pengetahuan langsung dari realitas. Kaum interpretis menolak teori rekam dan realitas objektif dan menawarkan bahwa semua pengetahuan dibentuk dari dalam organisme. Kaum pragmatis mengakui keberadaan dari realitas tetapi memperlihatkan bahwa realitas sendiri tidak dapat diketahui secara langsung. Selanjutnya mereka menerima teori rekam tetapi dengan suatu perubahan konsepsi tentang apa makna pengetahuan itu.
Menurut pandangan pragmatis, pengetahuan bukanlah sesuatu yang absolut. Ia bersifat sementara (provisional). Kadang-kadang gambaran mental kita atau keyakinan kita bisa merefleksikan realitas secara akurat, tetapi kita mesti dipersiapkan untuk menerima atau menolak kenyataan itu. Lebih dari itu kita tidak mempunyai cara untuk mengetahui jika kenyataan itu benar. Apa yang benar saat ini bisa menjadi salah pada waktu yang akan datang.
Berikut ini akan dipaparkan perbandingan dari ketiga tradisi epistemologis dan hubungannya dengan penelitian tentang belajar.
Tabel 1 : Tiga Tradisi Epistemologis dan Hubungannya dengan Penelitian tentang Belajar
| Objektivisme | Pragmatisme | Interpretisme |
Asumsi tentang realitas | Realitas adalah objektif | Realitas ditafsirkan, dinegosiasikan dan bersifat konsensual | Realitas dibentuk, ganda dan holistik |
Hakekat pernyataan kebenaran | Generalisasi, hukum-hukum, berpusat pada kesamaan | Hipotesis kerja, berpusat pada kesamaan dan perbedaan | Hipotesis kerja, berpusat pada perbedaan. |
Sumber pengetahuan | Pengalaman | Pengalaman dan penalaran | Penalaran |
Jenis desain penelitian | Eksperimental, a priori | Desain apa saja yang bisa memunculkan aspek-aspek realitas yang berbeda-beda | Naturalistik |
Teori belajar & pembela-jaran yang berkaitan | Behaviorisme, pemrosesan informasi, teori pembelajaran Gagne | Semiotic educational, Pandangan Bruner dan Vygotsky tentang belajar dan perkembangan | Teori perkembangan Piaget, konstruktivisme |
Dikutip dari : Marcy P. Driscoll, Psychology of Learning for Instruction, Boston: Allyn and Bacon, 1994, p. 15.
3.2. Pendekatan Eksperimental Awal Terhadap Belajar
3.2.1. Ebbinghaus (1950-1909)
Ketika psikologi memisahkan diri dari filsafat dan menjadi the science of mental life atau ilmu tentang kehidupan mental (Bower & Hilgard, 1981), ia sebenarnya sudah berhubungan dengan sensasi dan persepsi. Tetapi penelitian dari Hermann Ebinghaus mengantarkan bidang ini masuk ke dalam suatu era baru minat mempelajari belajar. Hernstein dan Boring (1965) mengaitkan munculnya minat ini dengan keyakinan yang berkembang dalam penelitian ilmiah pada umumnya dan psikologi ilmiah pada khususnya yang mendorong para peneliti untuk melakukan eksperimen tentang belajar.
Pada waktu munculnya Ebinghaus, doktrin klasik tentang asosiasionisme yang merupakan salah satu teori belajar sudah ada dalam psikologi. Perspektif kaum empiris mengakui prinsip tentang asosiasi ini yakni bahwa gagasan-gagasan berhubungan atau berasosiasi melalui pengalaman. Lebih dari itu, makin sering suatu asosiasi tertentu ditemukan, maka makin kuat pertalian asosiasi yang ada.
Ebinghaus kemudian beranggapan bahwa jika gagasan-gagasan dikaitkan dengan seringnya asosiasi mereka, maka belajar bisa diramalkan berdasarkan banyaknya waktu di mana suatu asosiasi tertentu dialami secara berulang-ulang. Ini memunculkan paradigma eksperimental yang digunakan oleh Ebinghaus dan para peneliti belajar lain sesudah dia. Variabel bebas didefinisikan sebagai jumlah pengulangan dari sederetan daftar gagasan yang berasosiasi. Variabel terikat untuk mengukur belajar adalah gagasan-gagasan yang dikemukakan oleh subjek atau responden dari gagasan yang terdaftar tersebut.
Karena Ebinghaus ingin menyelidiki belajar dari asosiasi baru yang murni berdasarkan pengalaman masa lampau, maka untuk menyederhanakan penelitiannya ia menemukan penggunaan suku kata yang tidak bermakna. Bentuknya berupa tiga huruf konsonan - vokal - konsonan (misalnya : gap, jor, mol, dsb) yang dianggap tidak bermakna. Kemudian ia mengatur dan menyajikan urutan-urutan dari 16 suku kata. Dengan metode ini Ebinghaus menemukan prosedur yang bisa diukur guna menyelidiki berbagai hukum asosiasi, juga untuk mengukur masalah ingatan dan lupa.
Dengan menganekaragamkan faktor-faktor seperti jumlah suku kata dalam daftar, banyaknya suku kata yang dipelajari, dan jumlah waktu yang dihabiskan untuk mempelajari setiap suku kata, Ebinghaus berhasil memverifikasi eksperimen tentang sejumlah kenyataan yang berkaitan dengan ingatan. Misalnya, semakin banyak materi yang hendak dipelajari, maka semakin lama waktu belajar yang diperlukan. Makin lama jarak sesuatu yang sudah dipelajari, maka makin sulit ia diingat. Ebinghaus juga memberikan sumbangan yang bermanfaat dengan menciptakan kurva lupa klasik yang menunjukkan bahwa lupa berlangsung sangat cepat pada saat pertama dan kemudian semakin lamban pada saat kemudian. Kurva lupa Ebinghaus diturunkan dari eksperimen belajar verbal. Lupa terhadap jenis pengalaman lain yang dipelajari (khususnya peristiwa-peristiwa yang secara pribadi bersifat traumatis) bisa memunculkan suatu pola yang sungguh berbeda (Bourne, Dominowski, Loftus & Healy, 1986).
Akhirnya dapat dicatat di sini bahwa eksperimen Ebinghaus telah menetapkan suatu tradisi belajar verbal yang sudah berlangsung lama bahkan hingga saat ini. Meskipun suku kata yang tidak bermakna sudah memberikan cara bagi konsep-konsep bermakna dalam eksperimen ingatan, prinsip asosiasi tetap merupakan kekuatan di dalam konsepsi-konsepsi kognitif modern tentang belajar.
3.2.2. Thorndike (1874-1949)
Seperti halnya Ebinghaus, Edward L. Thorndike juga tertarik dengan doktrin asosiasi, namun lebih kepada asosiasi antara sensasi dan dorongan daripada asosiasi antara gagasan. Dengan kata lain, Thorndike menyelidiki belajar berdasarkan asosiasi yang berhubungan dengan tindakan. Untuk kepentingan studinya, Thorndike lebih suka menggunakan binatang yang nampaknya tepat pada saat itu berdasarkan tesis Darwin tentang kelangsungan dari spesies, dan ia merumuskan prosedur eksperimental pertamanya untuk digunakan dalam mempelajari cara binatang belajar. Hal ini dilakukannya secara berulang-ulang dengan meletakkan seekor binatang ke dalam suatu “kotak teka-teki” dan mencatat berbagai hal-hal yang terjadi yang merupakan hasil belajarnya.
Hasil dari eksperimennya membuat Thorndike yakin bahwa binatang belajar untuk mengasosiasikan suatu sensasi dan impuls bila tindakannya mendatangkan suatu akibat yang memuaskan. Dengan kata lain, binatang membentuk suatu asosiasi antara kesan yang dirasakan (sense-impression) dari bagian dalam kotak dengan impuls yang menyebabkan keberhasilan mencapai suatu tindakan yang tepat, karena tindakan itu menimbulkan hasil yang memuaskan. Prinsip Thorndike ini dinamakan: Law of Effect. Prinsip ini merupakan modifikasi dari prinsip klasik asosiasi yang sudah memiliki implikasi yang jauh bagi behaviorisme.
Tapi Thorndike meragukan eksistensi dari asosiasi mental pada binatang. Ia mengatakan bahwa meskipun secara tentatif asosiasi bisa menerangkan perilaku binatang tetapi tidak berarti binatang bisa berpikir ketika mereka bertindak. Juga tidak penting untuk mengemukakan motif atau dorongan mental bagi tindakan mereka. Barangkali, kata Thorndike, binatang tidak memiliki ingatan, atau juga tidak memiliki gagasan untuk berasosiasi. Ini adalah gagasan yang lebih revolusioner yang menjadi warisan bagi behaviorisme.
3.2.3. Ivan Pavlov (1849-1946)
Pendekatan eksperimental ketiga untuk mempelajari asosiasi dilakukan bersama-sama antara asosiasionisme dan refleksologi. Dalam penyelidikannya terhadap refleks yang berhubungan dengan pencernaan anjing, Ivan Pavlov melihat bahwa anjing mengeluarkan air liur bukan hanya terhadap makanan tetapi juga terhadap berbagai rangsangan lainnya (misalnya melihat orang yang biasa memberi makanan atau bunyi bel ketika anjing hendak diberi makan). Walaupun gejala ini menarik perhatian para peneliti lainnya, Pavlov melihatnya sebagai suatu kesempatan untuk menyelidiki belajar secara eksperimental serta refleks bawaannya. Ia menamakan keluarnya air liur (salivation) anjing ketika melihat pembawa makanan sebagai suatu refleks yang dipelajari karena suatu asosiasi antara stimulus utama (makanan) dan stimulus periferial (pembawa makanan). Dengan kata lain sesuatu yang bersifat netral jika dipasangkan dengan sesuatu yang menyebabkan tanggapan maka hal yang netral juga bisa menyebabkan tanggapan. Ini menjadi bukti awal bagi suatu program penelitian dalam classical conditioning.
3.2.4. Teori Gestalt
Sementara doktrin tentang asosiasi yang sedang dikembangkan dan disebarluaskan dalam eksperimen-eksperimen Ebinghaus, Thorndike dan Pavlov, ada satu gerakan perlawanan (countermovement) dikembangkan oleh para ilmuwan Jerman yang merasa tertarik terutama dengan persepsi. Gerakan ini dinamakan Mashab Gestalt dan menjadi perhatian yang menarik bagi kalangan psikolog Amerika melalui publikasi dalam bahasa Inggris oleh Wolfgang Kohler yang berjudul Mentality of Apes (1925) dan publikasi Kurt Koffka, The Growth of Mind (1924) (Bower & Hilgard, 1981). Minat khusus dari para psikolog Amerika ini terutama adalah eksperimen Kohler dengan kera karena ia menjadi landasan untuk menolak pandangan asosiatif terhadap ingatan. Meskipun setuju bahwa pikiran mempelajari hubungan-hubungan yang sederhana antara gagasan atau asosiasi antara rangsangan dan tanggapan, Kohler memperlihatkan bahwa kera yang diujcoba mempelajari hubungan antara rangsangan dan bisa mengubah perilaku mereka dengan mengelami rangsangan dalam cara-cara yang baru.
Percobaan khas yang dilakukan Kohler meliputi menempatkan makanan jauh dari jangkauan seekor kera dalam sebuah kandang. Makanan itu bisa dicapai, berdasarkan usaha yang berbeda-beda, dengan memindahkan sebuah kotak yang menghalanginya keluar dari jalan itu, menggulung sebuah kumparan, atau meletakkan dua tongkat bersama-sama dengan menggunakan sebuah pengungkit yang cukup panjang untuk mencapai makanan itu. Kohler menekankan, meskipun beberapa usahanya untuk mencapai makanan itu gagal, kera tidak berperilaku secara acak. Begitu juga belajar nampaknya tidak terjadi dalam cara yang teratur, dan berkelanjutan dari suatu pola trial and error dan asosiasi-asosiasi yang tepat.
Menurut Kohler, perilaku yang diamatinya tidak mudah diterangkan dengan prinsip-prinsip asosiasi sendiri. Oleh karena itu maka ia mengatakan bahwa ada suatu “proses dari dalam” yang memampukan kera tersebut untuk mencapai struktur situasi itu. Yakni, mereka memerlukan hubungan antara dua hal, suatu interkoneksi yang didasarkan pada sifat-sifat benda itu sendiri, dan bukan hanya berdasarkan suatu yang selalu mengikuti sesuatu yang lain atau yang sering terjadi bersamaan. (Kohler, 1917, p. 578).
KE ARAH TEORI BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
Teori-teori tentang belajar memusatkan perhatian pada proses belajar. Bagi banyak ilmuwan yang menyelidiki tentang belajar, deskripsi ini merupakan tujuan utama dan menjadi pengetahuan terapan. Psikolog kognitif misalnya sangat memusatkan perhatian pada struktur dan proses otak dan kognisi. Psikologi perkembangan berusaha untuk memahami perkembangan manusia dari anak-anak sampai usia dewasa. Ilmuwan neurosains berharap untuk menemukan rahasia dari otak manusia. Tetapi beberapa peneliti tersebut, juga termasuk para psikolog pendidikan, lebih banyak memusatkan perhatian pada implikasi dari teori-teori belajar terhadap pendidikan dan pengajaran.
Pembelajaran (instruction) diartikan sebagai pengaturan yang dilakukan secara sengaja terhadap peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan untuk membantu orang yang belajar (learners) untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tujuan yang dimaksud bisa berupa pengetahuan, keterampilan, pemahaman, sikap, dsb. Orang yang belajar (learners) bisa orang dewasa atau anak-anak dari segala usia, latar belakang atau pengalaman sebelumnya. Sementara itu latar di mana terjadinya belajar bisa berupa formal, berbasis sekolah, di tempat kerja, atau di masyarakat di mana program pembelajaran dirancang dan diimplementasikan. Mereka yang berurusan dengan pembelajaran bisa meliputi guru sekolah umum atau guru privat, instruktur pelatihan, atau pengembang instruksional. Asumsi dasarnya adalah bahwa pembelajaran yang efektif hendaknya didukung oleh teori-teori belajar yang telah diketahui.
Reigeluth (1983) membedakan antara teori belajar deskriptif dan teori belajar preskriptif, serta antara belajar (learning) dan pembelajaran (instruction). Sebagaimana yang telah digambarkan di depan, titik paling awal dari teori belajar bersifat deskriptif, yakni menjelaskan proses yang bisa diamati dari perubahan-perubahan yang terjadi di dalam kinerja. Namun demikian berdasarkan teori deskriptif, prinsip-prinsip preskriptif dapat diturunkan dan diuji secara empiris.
Preskripsi pada dasarnya menunjukkan kondisi pembelajaran apa yang hendaknya dibuat untuk membantu terjadinya belajar, tetapi tidak merinci metode pembelajaran tertentu. Menurut Reigeluth, suatu preskripsi belajar tidak sama persis dengan preskripsi pembelajaran. Maka ia berpendapat bahwa preskripsi belajar tidak begitu mudah diterapkan oleh guru di kelas atau para pengembang instruksional seperti halnya preskripsi pembelajaran.
Meskipun tidak diragukan bahwa Reigeluth mungkin benar dalam hal ini karena teori-teori belajar tidak begitu mudah diterapkan di kelas dibandingkan dengan teori-teori pembelajaran, namun ada beberapa teori pembelajaran yang sudah dikembangkan sebagian besarnya atas bantuan teori-teori belajar. Salah satu dari pengecualian itu adalah teori prasyarat belajar dari Gagne (1985).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Bourne, etc., Cognitive Processes, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1986.
Bower, G.H., & Hilgard, E.R., Theories of Learning, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1981.
Cunningham, “Beyond educational psychology: Steps toward an educational semiotic”. Educational Psychology Review 4, 1992.
Driscoll, M.P., Psychology of Learning for Instruction, Boston: Allyn and Bacon, 1994.
Reigeluth, C.M. (ed.), Instructional-design theories and models, Hillsdale, NJ: Laurence Erlbaum, 1983.
0 comments:
Post a Comment